Kita semua mengetahui bahwa Indonesia sedang berduka. Hal ini dikarenakan beberapa waktu lalu, laga panas antara Arema F.C melawan Persebaya memakan lebih dari 150 korban paska pertandingan mereka. Sejujurnya, saya muak membahas hal ini. Muak dengan semua kebodohan yang dilakukan oknum-oknum. Namun, melampiaskan emosi di atas kertas digital selalu menjadi hal menyenangkan.
Saya punya imajinasi liar bahwa Indonesia seharusnya tidak berduka pada hari ini yang disebabkan oleh tragedi Kanjuruhan kemarin. Akan tetapi, seharusnya Indonesia sudah berduka sejak negara ini berdiri. Hanya saja, kadar isu yang diangkat mungkin berbeda. Berbeda pula pemirsanya. Bagaimana bisa? Saya turut berduka atas kasus korupsi yang tak kunjung (tak akan?) selesai di negara ini. Saya turut berduka atas banyaknya potensi-potensi yang berasal dari non-Jawa dan non-Islam untuk memimpin negara ini, namun terkubur akibat ganasnya sejarah dan budaya. Saya turut berduka untuk mereka yang membicarakan kelaparan di atas meja makan.
Bukankah seharusnya kita berduka setiap hari? Melihat Jakarta tanpa spasi, Papua yang senyap, eksploitasi Kalimantan, sistem pendidikan yang miris, hukum yang runcing kebawah, banyaknya data-data warga negara termasuk pejabat yang bocor, dan masih banyak lagi. Tidakkah kita harus memasang foto di Instagram kita dengan warna hitam setiap harinya? Atau memang harus merenggut nyawa terlebih dahulu baru kita berduka?
Anjing. Logika saya tidak sampai kepada suatu paradigma bahwa harga diri lebih tinggi derajatnya ketimbang nyawa. Namun, itulah fakta yang terjadi saat ini, di negara kita yang tercinta ini. Hilangnya harga diri fans sepakbola fanatik yang dikalahkan oleh rivalnya kemarin malam, dan terbunuhnya Brigadir J akibat isu perselingkuhan atasannya rasanya sudah cukup membuktikan betapa harga diri lebih penting ketimbang nyawa.
Tidak berlebihan rasanya jika saya mengatakan bahwa Indonesia sangat ahli dalam mengadopsi filosofi timur ala Jepang, yakni filosofi pasukan Kamikaze yang lebih baik mati ketimbang kalah. Akan tetapi, bukankah kematian malah akan menihilkan kesempatan? Ketika kita dihadapkan pilihan untuk menembak atau tidak, tembakan kita akan meleset 100% jika tidak menembak bukan? Sepertinya halnya kematian, dan usaha.
Akui saja bahwa kita memang dangkal, bahwa kebanyakan masyarakat masih buta logic. Tidak perlu menyalahkan satu sama lain akibat tragedi Kanjuruhan, sebab memang seperti inilah wajah Indonesia yang sebenarnya. Oh, keledai-keledai…