Sedang ingin menulis, tapi tidak dalam bahasa Inggris agar dinamis. Tidak baru dan tidak lama saya melihat kehidupan, sudah dan baru sekitar 26 tahun. Banyak hal yang telah mengalami perubahan paska kelahiran saya, seperti presiden, lingkungan, makna, tren, agama dan budaya. Bahkan manusia juga berubah, ya manusia.
Seseorang yang dulunya baik menjadi buruk, begitupun sebaliknya. Harus saya akui bahwa manusia memang dinamis dan berdasarkan pengalaman saya, hal tersebut niscaya.
Topik manusia memang selalu menarik bagi saya. Bahkan saya pernah berdiskusi lebih dari 2 jam dengan abang gojek di salah satu warkop di Kebayoran Lama.
Kami membahas apakah manusia itu, bagaimana manusia berbeda dengan makhluk lain, apa arti makna bagi manusia, manusia beserta hiruk pikuknya, dan sebagainya. Diskusi kami berlangsung hangat dengan satu bungkus Sampoerna, satu bungkus Gudang Garam dan dua gelas Kapal Api panas. Siapa yang menyangka abang gojek memiliki kekayaan intelektual demikian?
Sejujurnya tidak dengan saya. Saya memiliki satu ideal bahwa setiap manusia memiliki potensi. Saya sudah menanamkan kebiasaan ini -terima kasih filsafat dan fenomenologi.
Kebiasaan bahwa ketika bertemu orang baru, saya tidak boleh berasumsi apapun tentangnya karena ketika saya berasumsi, maka saya membunuh potensi. Aktualisasi tersebut cukup pragmatis dan itulah yang saya dapat.
“Potensi adalah satu hal, apa yang kita lakukan terhadap potensi kita adalah hal yang lain” — Angela Duckworth
Diskusi yang cukup kaya malam itu sedikit banyak mengubah orientasi saya terhadap manusia. Maaf, tidak mengubah tapi memengaruhi. Saya sepakat dengan anggapan bahwa manusia adalah makhluk yang dinamis dengan catatan tidak universal. Ada satu sisi yang statis daripada manusia berdasarkan pengalaman seorang 23 tahun ini: menjalani apa yang seharusnya tidak dijalani.
Ya, saya rasa hal itu sudah menjadi tradisi yang ditanamkan oleh kebanyakan dan nenek moyang kita sejak dahulu.
Saya berangkat dari para pemikir eksistensialis bahwa manusia adalah makhluk yang bebas. Ia dapat menentukan esensi daripada dirinya sendiri. Untuk menjadi dan menjalani, untuk mengambil pilihan dan ketentuan, untuk menentukan preferensi dan referensi. Banyak yang ingin bebas tapi tidak paham apa itu kebebasan, betapa mengerikannya kebebasan itu. Korelasi antara kebebasan dan kengerian terletak pada muatannya, yakni konsekuensi dan tanggung jawab.
Saya rasa hanya segelintir orang yang benar-benar “dinamis” sebagai manusia. Ya, segelintir mungkin diksi yang lebih humanis ketimbang minoritas.
Katakanlah Hitler, Nietzshce, Dostoevsky, Fourier dan Sokrates. Mereka adalah bukti konkrit akan manusia yang benar-benar dinamis, manusia yang berani menjunjung tinggi idealnya kendati kematian menjadi potensi. Bagaimana dengan kita?
Sayangnya, kebanyakan dari kita, bahkan termasuk saya belum sampai pada tahap “orang-orang sakti” tersebut.
Saya bukan mengajak anda untuk menempuh jalan seperti saya, untuk mencapai eksistensialis sejati dan menjadi manusia yang transenden. Akan tetapi, saya melihat bahwa kehidupan yang paling layak adalah kehidupan yang bebas dimana kita bercumbu dengan semua konsekuensi serta tanggung jawab akibat pilihan yang kita ambil. Kemudian, berbagi sedikit pandangan hidup juga tidak ada ruginya bukan?
“Cara terbaik untuk menjaga tahanan agar tidak melarikan diri adalah memastikan dia tidak pernah tahu bahwa dia di penjara.” — Fyodor Dostoevsky
Berangkat pagi ke kantor, kuliah pagi, mengasuh anak, beribadah, upacara bendera terkadang mungkin menjadi aktivitas yang memberatkan dualisme ala Descartes -baik tubuh maupun pikiran. Tidak jarang kita mengeluh sebelum mengambil handuk, “cuk, masih ngantuk”, atau “aih, besok udah Senin”, dan sebagainya.
Kita tidak nyaman dengan situasi demikian, namun kita tetap menggosok gigi.
Itulah manusia, mereka gemar menjalani hidup yang seharusnya tidak mereka jalani. Mereka tidak berani bertanggung jawab, namun tetap melantunkan lagu kebebasan. Manusia yang gemar mengubur eksistensinya. Manusia yang tidak sadar dirinya sedang dipenjara. Dasar manusia…